Rabu, 21 Desember 2011

LAHIRNYA MUHAMMADIYAH DI KOTA MAKASSAR

1.       Beralihnya As-Shirathal Mustaqiem menjadi Muhammadiya
Sekitar tahun 1922, seorang pedagang batik ketrunan arab berasal dari Sunenep (Madura) bernama Mansyur Yamami datang dan membuka usaha dagangnya dijalan Passarstraat (jalan Nuasantara saat ini).
Selain sebagai pedagang batik, Mansyur Yamami adalah aktivis dan muballigh Muhaimnadiyah cabang Surabaya. Dalam usaha mencari relasi dalam dagangannya, belia bergaul dengan baik dan menjalin hubungan dengan pemuka-pemuka As-Shirathal Mustaqiem yang juga pada umumnya adalah pedagang (wiraswasta).
Setelah kurang lebih 3 tahun keakraban hubungan sebagai relasi usaha dagang dan sebagai kawan sefahan dalam pengembangan agama islam, akhirnya diadakan rapat (pertemuan) oleh As-Shirathal Mustaqiem dirumah Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro, seorang pedagang hasil bumi. Pada rapat yang diadakan pada bulan Ramadhan tersebut, disepakati susunan pengurus Muhammadiyah Groep Makassar yang pertama-tama, terdiri dari:
Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro,                         sebagai Voorzotter (ketua)
K. H. Abdullah,                                                                         sebagai Vice Voorzotter (wakil ketua)
Muhammad Said Daeng Sikki,                                           sebagai secretaries (sekertaris)
Haji Yahya,                                                                                 sebagai Penningmeester (bendahara)
H. Muhammad Thahir Cambang,                                     sebagai Commisaris (pembantu)
H. Ahmad,                                                                                                 sebagai Commisaris (pembantu)
H. A. Kariin Daeng Tunru,                                                    sebagai Commisaris (pembantu)
Mansyur Yamami,                                                                  sebagai Commisaris (pembantu)
Daeng Minggu,                                                                        sebagai Commisaris (pembantu)
Rapat pertama itupun memutuskan mengutus Mnsyur Yamami ke Yogyakarta untuk melaporkan terbentuknya Muhammadiyah dikota Makassar dan mengundang Hoofd-Bestuur (pimpinan pusat) Muhammadiyah agar mengirim utusannya keMakassar guna memberikan bimbingan-bimbingan.
Salah satu kegiatan Muhammadiyah Groep Makassar memperkenalkan diri kepada masyarakat dengan mengadakan “openbarevargadering” atau “rapat umum terbuka”.
Pada mulanya anggota teras Ash-Shirathal Mustaqiem mencatatkan diri menjadi anggota Muhammadiyah Groep Makassar. Mereka mengaktifkan Ash-Shirathal Mustaqiem dengan memindahkan kegiatannya kekampung pisang, sekitar Jalan Lajangiruweng (jalan Gunung Merapi saat ini). Anggota setia yang tersisa sekitar 17 orang.

2.       Muhammadiyah Makassar 5 tahun Pertama.
Sekitar akhir 1926, beberapa bulan sekembalinya H.M. Yunus Anis dari kota Makassar, Muhammadiyah Groep Makassar ditinggalkan menjadi Muhammadiyah cabang Makassar, dengan K.H. Abdullah sebagai ketuanya, didampingi oleh tokoh-tokoh lainnya yang juga menjadi pengurus sejak mula didirikannya, antara lain H. Nuruddin Daeng Magassing sebagai secretaries. K.H. Abdullah mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya mengembangkan dan mengajarkan cita-cita dan faham Muhammadiyah dengan menggunakan bahasa daerah (bahasa Bugis-Makassar).
Mulai berkantor.

Setelah Muhammadiyah mendapatkan perhatian yang semakin besar dari masyarakat, maka para pengurus merasa perlu melaksanakan penataan organisasi. Pengurus mengusahakan ruang perkantoran yang sekaligus dapat dijadikan tempat pertemuan dan sebuah bangunan gudang berukuran 50×8 meter dijalan Bandasraat milik Daeng Tawiro yang dipilih sebagai kantor sementara.

Mengadakan Tabligh (Dakwah)

Anggota Muhammadiyah Makassar waktu itu terpencar-pencar tempat tinggalnya, bahkan beberapa diantaranya bertempat tinggal diluar kota Makassar. Silih berganti tabligh itu diadakan dirumah-rumah anggota, sekalipun pengunjungnya sangat terbatas, bahkan tidak jarang terjadi yang hadir itu ialah anggota-anggota itu saja.

Gangguan-gangguan dan intimidasiyang pada umumnya pada tabligh yang diadakan:
a)      Orang-orang yang beranggapan bahwa Muhammadiyah adalha perkumpulan yang merusak dan merubah-rubah agama Islam.
b)      Dari golongan bangsawan yang berpandangan sempit, mereka menuduh Muhammadiyah akan merubah adat istiadat.
c)       Dari golongan yang buta terhadap agama islam, sekalipun mereka mengaku beragama Islam.
d)      Gangguan dari pihak pemerintah colonial sendiri dan kaki tangannya, sekalipun gangguan mereka tidak secara langsung diadakan sebagai sabotase terhadap tabligh tersebut.

3.       Aisyiyah Cabang Makassar Didirikan
Tahun 1927, setahun setelah didirikannya Muhammadiyah dikota Makassar, ditengah-tengan rintangan yang dihadapinya, Muhammadiyah semakin menampakkan kegiatannya. Sekitar bulan Juli 1927, anggota Muhammadiyah dari kalangan wanita membentuk Aisyiyah Cabang Makassar, dengan susunan pertamanya ialah:
Hajjah Daeng Rainpu,                                           sebagai ketua
Hajjah Fatimah Abdullah,                                    sebagai wakil ketua
Sitti Rabiah,                                                               sebagai juru surat (sekertaris)
Hajjah Subaedah,                                                   sebagai juru uang (bendahara)
Hajjah Hasanah,                                                      sebagai pembantu
Hajjah Sapunna,                                                      sebagai pembantu
Daeng Sunggu,                                                        sebagai pembantu
Daeng Tahuna,                                                        sebagai pembantu
Sitti Hajerah,                                                             sebagai pembantu
Daeng Sareng                                                           sebagai pembantu
I-Yaya                                                                          sebagai pembantu
Pada umumnya pangurus Aisyiyah adalah buta aksara, maka merekapun aktif mengikuti kursus yang dinamakan “Sekolah Menyesal” yang didirikan beberapa bulan keinudian.

4.       Organisasi Kepanduan Hizbul Wathan (HW) Didirikan.
Dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Makassar, ada bagian urusan pemuda. Urusan pemuda ini menangani 4 macam usaha yaitu:
a)      Urusan kepanduan Hizbul Wathan
b)      Urusan Persatuan Sepak Bola HW, disingkat PS-HW
c)       Urusan Musik
d)      Urusan  Pandu Laut
Untuk membentuk kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah cabang Makassar, ditugaskan kepada Ali Sailellah, Maliang, Abduk Kadir dan Haji Mabrur. Baik kepanduan maupun kesebelasan yang dibentuknya mendapat perhatian dari pemuda-pemuda waktu itu.
Pada tahun 1929, pada waktu Muhammadiyah cabang Makassar masih mewilayahi Sulawesi Selatan, diutuslah 2 orang pimpinan Hizbul Wathan dari Sengkang dan Abdul Kadir dari Makassar. Sekembalinya kedua utusan tersebut, dibentuklah pengurus Hizbul Wathan denagn tugas membentuk dan membina Hizbul Wathan dengan tugas membentuk dan membina Hizbul Wathan se-Sulawesi Selatan dengan susunan:
*      M. Arafah sebagai Menteri Daerah HW SulSel
*      Abdul Kadir sebagai wakil Menteri Daerah HW
*      Mahang sebagai juru surat (sekertaris)
*      Ali Sailellah sebagai juru uang dan beberapa pembantu.

Mendirikan Mesjid Ta’Mir

Masjid dikampung Butung yang didirikan oleh Haji Muhammad Thahir dan menjadi tempat orang-orang Muhammadiyah bershalat jum’at dipandang tidak memadai lagi, terutama karena dimasjid tersebut masih sering terdapat orang yang melakukan bid’ah dan khurafah didalamnya.
Seorang anggota Muhammadiyah yang dinggal dikampung Pisang bernama Kamaluddin mewakafkan sebidang tanahnya yang terletak disuatu lorong di Bandastraat (jalan Banda) untuk dibanguni mesjid. Masjid yang didirikan  dan diberi nama masjid Ta’mir telah dapat digunakan (ditempat shalat jum’at) pada tahun 1927 itu juga, dengan K.H. Abdullah sebagai Imam dan Khatib.
Setelah berjalan beberapa bulan, terjadilah perbedaan-perbedaan pendapat yang mengakibatkan pemecahan. Sikap tegas orang-orang Muhammadiyah tersebut menyebabkan masid Ta’mir kosong dari jama’ah, sehingga 3 jum’at berturut-turut shalat jum’at tidak dapat berlangsung dimasjid itu.

Mendirikan Tempat-tempat PENDIDIKAN

PADA TAHUN 1929, muhammadiyah cabang Makassar berusaha mendirikan 2 buah sekolah, yaitu :
a)      Hollandsche Inlandsche Shool metode Al-Qur’an (HIS metode Al-Qur’an)
b)      Munir School, setingkat dengan ibtidaiyah.
Kedua sekolah tersebut diatur pengelolaannya menuurt cara pengelola sekolah-sekolah pemerintah waktu. Pengurus Aisyiyah Cabang Makassar dengan bekerjasama dengan Muhammadiyah cabang Makassar mengadakan sekolah yang dinamainya “menyesak school” (sekolah menyesal), yakni kursus pemberantasan buta aksara yang pengikut-pengikutnya adalah pengurus dan anggota-anggota Aisyiyah.
Oleh karena ruangan digudang yang berlokasi dijalan Bandastraat tidak memadai lagi menjadi ruangan belajar, maka pengurus Muhammadiyah Cabang Makassar memutuskan membeli sebidang tanah dijalan Diponegoroweg (jalan Muhammadiyah).
Pada tahun 1932, Muhammadiyah Cabang Makassar mendatangkan lagi guru dari Sumatra. Tabligh School ini agaknya mendapat perhatian dan umat Islam sampai kedaerah-daerah, terbukti dengan berdatangannyasiswa-siswi dari daerah pedalaman.
Pada tahun 1934, nama Tabligh School dirubah menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah Cabang Makassar dan berlokasi dijalan Diponegoroweg, yang telah berhasil didirikan sekalipun hanya dengan bangunan semi permanen, yang terkenal dengan sebutan Gedung Mutiara.

Mengusahakan Pemeliharaan Yatim Piatu

Pada tahun 1929, Muhammadiyah cabang Makassar menambah lagi usahanya dengan mengusahakan pemeliharaan aka yatim piatu. Dalam berusaha mencari lokasi untuk dibanguni tempat penampungan yatim piatu itu, secara kebetulan seorang pedagang mie dari jawa yang mempunyai tanah dijalan Diponegoroweg menang lotere sebesar f100.000,-(seratus ribu gulden). Diapun menjual tanahnya kepada Muhammadiyah seharga f200,-(dua ratus gulden) kemudian mereka sekeluarga kembalikejawa. Diatas tanah tersebut dibangun rumah penampungan yatim piatu yang diberi nama “Rumah Anak Yatim Muhammadiyah”.

5.       Pengembangan Muhammadiyah di Kota Makassar
Anggota Muhammadiyah Cabang Makassar sampai beberapa tahun terbentuknya, tersebar kebeberapa kampong dalam kota Makassar, bahkan juga ada yang berdomisili diluar kota pedalaman Sulawesi Selatan.
H.A.S. Daeng Muntu, konsul Muhammadiyah Sulawesi Selatan yang kedua menyatakan dalam bukunya (Langkah dan Usaha kita) bahwa setelah keluarnya anggota Ash-sirathal Mustaqiem dari Muhammadiyah, maka hanya 17 orang anggota Muhammadiyah Cabang Makassar. Berkat usaha para kader Muhammadiyah itu, pada tahun 1928 telah terbentuk 4 groep Muhammadiyah didalam kota Makassar, yaitu:
a)      Muhammadiyah Groep kampong Bontoala, dipimpin oleh Sulaiman Matutu.
b)      Muhammadiyah Groep kampong Pisang yang terletak dicentral kota Makassar.
c)       Muhammadiyah Groep Mariso dibagian selatan kota Makassar.
d)      Muhammadiyah Groep Lariangbangi dilingkungan distrik Makassar dibagian timur kota Makassar.
Keempat Groep Muhammadiyah tersebut diatas secara bergiliran mengadakan tabligh disekitar daerahnya masing-masing dengan mendatangkan pegurus pimpinan Cabang Makassar. Pembentukan panduan Hizbul Wathan sangat menjadi perhatian pengurus groep-groep ini dan menjadi daya penarik dikalangan pemuda-pemuda dan anak-anak remaja waktu itu.

6.       Sistem Administrasi dan Pembinaan
Dalam organisasi Muhammadiyah sejak semula digunakan sistem sentralisasi dalam hal penerimaan anggota dan pemberian kartu tanda anggota, hanya Hoofdbestuur Muhammadiyah diYogyakarta.
Seseorang ingin menjadi anggota, lebih dahulu mencatatkan diri pada groep dimana dia berdomisili, dengan mengisi formulir yang juga seragam dari pusat. Selama dalam status calon anggota, yang bersangkutan harus menunaikan kewajiban-kewajiban organisasi.
Bila selama dalam pengamatan dan pembinaan pengurus yang biasanya dilakukan berbulan-bulan lamanya, calon anggota telah memenuhi kewajiban organisasi dan telah dapat menata kehidupan pribadi dan keluarganya sesuai dengan apa yang telah ditentukan kepadanya, barulah calon anggota itu diusulkan keHoofd bestuur yang lazimnya diusulkan secara kolektif, dengan advis agar mereka dapat diterima menjadi anggota karena telah memenuhi syarat yang ditentukan.
Tata cara penerimaan anggota yang demikian itu, sekaligus merupakan seleksi. Muhammadiyah dan Aisyiyah mengutamakan kualitas anggota.

Ketabahan Menghadapi Reaksi dan Rintangan

Dimana ada aksi, disitu ada reaksi, demikian kata-kata ungkapan dan merupakan sunnatullah mewarnai perjalanan hidup manusia sepanjang masa.
Kehadiran Muhammadiyah, Aisyiyah dan juga kemudian Pemuda Muhammadiyah dengan amalan-amalannya serta cita-cita yang diperjuangkannya, tidakditerima oleh semua orang dengan gembira. Aneka rupa reaksi dan rintangan yang dihadapinya diawal kehadiran Muhammadiyah Cabang Makassar. Reaksi dan rintangan itu antara lain:
Orang-orang Muhammadiyah yang pakai pentolan (celana panjang) dituding orng nasrani, serta shalat tanpakopiah (penutup kepala) disebut kafir.
Orang-orang Muhammadiyah yang shalat jumat dengan sekali adzan dan dengan khotbah bahasa Indonesia atau bahasa daerah dituduh pengrusak agama dan diperkarakan di pengadilan.
Orang-orang Muhammadiyah yang tarwih dibulan Ramadhan dengan 8 rakaat titambah witir 3 rakaat dengan sekali salam, serta shalat Ied ditanah lapang terbuka dituduh orang sesat dan merusak agama.
Orang-orang Aisyiyah dan puteri-puterinya yang memakai kudung dikatakan merusak adat bahkan dijuluki dengan gelaran sinis “haji tallettu”.
Orang-orang Muhammadiyah dan Aisyiyah yang mengumpulkan bantuan penyantunan yatim piatu dituduh pula hanya memperalat anak yatim untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya.
Sekolah-sekolah Muhammadiyahyang menggunakan bangku, meja, papan tulis dengan guru-gurunya yang berpentolan dan berdasi dituduh sebagai orang nasrani yang berkedok Islam.
Orang-orang Muhammadiyah yang tidak bertalkim dan membaca surah yasin dikuburan orang yang baru meninggal dan tidak pula merayakan dengan selamatan dan sesajen kiriman kepada keluarga yang telah meninngal, dituding sebagai pendurhaka kepada leluhur dan merusak agama nabi Muhammad SAW.
 Apa yang dikemukakan diatas adalah sebagian dari wujud reaksi dan rintangan yang penulis dapat inventarisir dari beberapa responden yang berusia lanjut, yag menyaksikan dan merasakannya pada tahun-tahun permulaan hadirnya Muhammadiyah dan Aisyiyah di Sulawesi Selatan, dan juga yang dialami penulis sendiri. Namun kesemuanya itu dihadapi oleh anggota Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan ketabahan, kesabaran dan semangat beramal tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar